Postingan

Mata seekor burung tak bersayap (Cerpen)

Darimana asalku jika bukan dari keagungan sebuah hubungan? Darimana asalku jika bukan dari Tuhan yang memberiku kesempatan. Banyak di lautan tanah orang-orang berantrian untuk mengakhiri hidup. Pantaskah mereka disebut manusia yang patut dikasihani meski masalah memantaskan mereka untuk menjadi orang yang bergelar konglomerat penderitaan? Mereka tak lain adalah manusia yang menyalahkan Tuhan dari segala kesakitan yang menimpa. Mataku melihat sebuah trauma yang tak mampu hilang sampai saat ini. Bulir sebuah derita hampir memutuskan untuk sebuah dosa besar. Dosa yang tak mampu dimaafkan karena derita yang amat sangat menyakitkan. Aku Ferlita, manusia biasa yang tak berteman. Bagaimana ingin jika keinginan hanya sebuah kebahagiaan di alam bayangan. Tak ada yang dekat denganku, bukan tak dekat, tapi tak mau dekat. Hanya menangis hingga tubuhku bergidik merinding. Sebuah perntanyaan melayang lalu hinggap padaku "siapakah aku?". Tangis tangis tangis, lalu aku menjawab di hadapa

HARGAI AKU

                Bukankah hidup harus selalu berkembang? Ya, menurutku hidup harus senantiasa berkembang, tidak stagnan. Bagaikan bunga mawar yang cantik namun berduri, jika kau tak hati-hati kau akan terkena durinya, seperti itulah kehidupan, jika kau tak hati-hati, kau akan terkena pahitnya.                 Aku sakit, kemarin darah keluar banyak dari hidungku. Aku takut, benar-benar takut. Aku dibawa oleh ke dua orangtuaku ke rumah sakit. Di rumah sakit itu dokter mengatakan jika aku harus dirawat di sana karena kondisiku yang buruk, akan tetapi ke dua orangtuaku menolaknya, mereka mengatakan ingin merawatku sendiri di rumah, aku merasa aneh, bukankah aku sakit parah?                 Darah menetes dari hidungku, lantas aku segera berlari ke luar kamar untuk memberitahu kondisiku pada ibu, namun apa yang terjadi? Ibu seolah tak peduli, dia tetap saja memasak dan membalikkan badannya tanpa menoleh ke arahku. Aku merasa kesal, aku merasa terabaikan, bisa-bisanya ibu tak pedu

SAYAP

cerpen oleh: Husni Fauziah (me) Diana berjalan lurus tak memperhatikan jalan. Ingatannya tertuju pada peristiwa yang menimpanya beberapa minggu yang lalu. Ia tidak sanggup mengatakan apa-apa pada keluarganya , ia terlalu takut   jika keluarganya salah paham padanya. Diana tanpa sadar sudah berada di apotik, ia ragu untuk masuk kedalam, tapi karena tekadnya ia pun memutuskan untuk masuk. Diana menatap penjaga apotik dengan ragu, “Mb-mbak… ju-al test pack?” Tanya Diana gugup. Penjaga toko itu menatap mata Diana “ada, mau beli yang mana Mbak?” Tanyanya sedikit aneh melihat kegugupan Diana. Diana segera ke kamar mandi. Ia gugup, tapi sesaat ia tersenyum lega karena hasilnya negative. Diana segera membuang test pack tersebut keluar agar keluarganya tidak menemukannya, jika mereka menemukannya, maka mereka akan curiga, dan berfikir untuk apa sebenarnya ia membeli alat itu. *** Diana menuju ruang keluarga, ia melihat kakaknya, Yunita bersama orang tuanya sedang bersenda gurau. Dia

Candle (cerpen romantis)

Lilin itu telah padam… Semua gelap tak bercahaya… Akankah gelap itu akan segera berlalu? Ataukah mengabadikan kehidupan tanpa adanya sinar … Lilin itu telah padam… Hiduppun terasa sunyi tak berarti… hilangnya   cahaya yang tak pernah abadi adalah kisah yang tiada arti… Lilin itu telah padam… Dan sinar mentari tak lagi menjadi saksi… Semua hilang… Dan harapan tak pernah pudar untuk mengharapkan Kau akan kembali. Walau sungguh aku mengerti Semua adalah dusta dalam hati yang tak dapat aku pungkiri Bahwa kau tidak disisni lagi… Fanessa terhanyut dalam makna puisi yang di bacanya. Lilin memang melambangkan kisah yang tak pernah mati   untuk diuraikan menjadi sebuah makna yang berarti dalam kehidupan.   Memang ia merasakan betapa indahnya lilin ketika bersinar, bagai bintang-binang yang menelan kegelapan. Ia tersenyum sesaat sebelum membaca kembali puisi di dalam buku yang berjudul “CANDLE”. Setelah puas membaca,   Fanessa   memperhatikan taman